JAFF tahun ini mengusung tema “Luminescence” yang menggarisbawahi sinema Asia yang belakangan menerima berbagai penghargaan dari sejumlah festival film internasional. Pencapaian ini harus dipahami sebagai pengakuan yang jujur terhadap karakteristik yang distingtif dari sinema Asia. Lebih dari sekadar permata yang tersembunyi, sinema Asia terus memendarkan karakter dan keindahannya sendiri ke seluruh penjuru dunia. Antusiasme para pencinta film menyambut JAFF dirasakan semakin bersemangat. Kebutuhan para pembuat film dan pencinta film untuk menikmati film di layar lebar, berdialog dan berjejaring secara langsung, sungguh terasa begitu semarak dan bergairah.
Direktur Kebudayaan, Kemendikbudristek RI, Hilmar Farid menyampaikan dalam sambutannya, “Semangat yang saya tangkap dalam festival ini adalah ajakan untuk mengapresiasi setiap karya yang dihadirkan karena kilau internalnya, bukan karena nama besar pembuatnya atau adanya pengakuan yang sudah terlebih dahulu diberikan. Festival dalam konteks ini menjadi ajang untuk memperkaya kita semua melalui pemutaran film, kritik, diskusi, workshop, dan tentunya juga pertemuan informal yang hangat di sela berbagai macam kegiatan.
Selain pemutaran, Jogja-NETPAC Asian Film Festival ke-18 juga mengadakan pameran berjudul Intersection: within the spirit of nature, and where we find ourselves. Pameran kolaborasi ini menampilkan konvergensi seni dan instalasi film dalam sebuah pameran yang menyatukan sinema Asia dengan praktik artistik multimedia dari tujuh perupa asal Indonesia, Thailand, Tiongkok, India, Malaysia, dan Singapura yang terlibat dalam lokakarya intensif di hutan Amazon di bawah bimbingan sutradara ternama, Apichatpong Weerasethakul pada Juni 2022. Melampaui label pameran seni semata, pameran ini merupakan ekspedisi yang melihat kompleksitas alam, spiritualitas, dan penemuan diri. Setiap karya memperlihatkan keterhubungan yang dalam antara manusia dan dunia alam, dengan Amazon sebagai latar belakangnya.